18 Desember 2012

Aku Baik-baik Saja.


Perlahan, mulai ku seduh kopi sachet yang ku beli beberapa hari yang lalu, ini sudah aku persiapkan menjelang akhir pekan. Meski terlihat biasa saja, tapi aku menyukainya.
Langit sore yang terlihat wibawa menjingga diiringi gelak tawa anak-anak kecil bermain, menikmati masa libur mereka, setelah lelah bertempur dalam perang bertajuk ujian semesteran.
Mereka kini telah bebas, mereka bermain dengan senang tanpa beban.

Ku sandarkan punggung ku di tembok kamar. Ku atur napas yang kini kian semakin berat, bersamaan dengan itu, ku teguk cairan hangat kecoklatan ini dari benjana keramik produk cina massal. Tak perlu komando dari seorang Jendral bintang tujuh, cairan itu meluncur deras ke keronkongan ku. Tapi, tunggu sebentar! Sepintas ada yang aneh.

Senja pun bergulir ke peraduan, bergeser ke barat bersiap sang rembulan ditemani sang penyair kurus berponi belah pinggir. Ku benamkan wajah ku ke bantal, mencoba menggali keanehan ini. Ah, Ini terlalu cepat untuk segelas kopi sachet yang tak berdosa. Ya, dingin yang terlalu dini datangnya telah bersemayam di cairan kecoklatan ini, aku tak habis pikir, padahal hanya jeda beberapa menit setelah selesai ku menyeduhnya. Dasar, Desember sialan!

Semua kacau! Persekongkolan ini membuat aku muak! Apalagi, kalau bukan waktu, dalang dari semua tragedi memilukan ini. Suara tawa anak-anak kecil dari luar kamar yang berebutan masuk melalui jendela kaca tanpa gorden, semakin ironis nampaknya. Tapi mereka tidak mau tahu.

Tak kenal tawar menawar, bahkan untuk sepersekian detik yang coba aku ajukan melalui media sosial Facebook untuk mengulangi kenangan itu. Tetap sia-sia. Terlambat untuk semuanya, yang ada sekarang hanya berpura-pura hangat. Sejatinya, aku ikut menjadi dingin dan hambar selayaknya nasib kopi sachet yang biasa ku beli dari warung sebelah. Aku baik-baik saja, selama aku menyukainya.