Hawa
dingin mulai terasa, sisa dari hujan yang menguyur sore tadi. Tidak begitu
dingin, tapi cukup sejuk untuk mengambil keputusan tidur lebih awal malam ini,
ah, tetapi aku tidak ingin terburu-buru kali ini.
Ku sandarkan punggung ku ke tembok tua bercat hijau muda agak cerah, tapi bukan hijau muda, semacam hijaulah, mengandung unsur hijau, ah! Apalah, aku tak tau persis soal warnanya, hei!! Kenapa jadi meributkan warna tembok tua ini. Bodoh.
Akhir-akhir ini serba nanggung, menjalaninya. Sesuatu terasa sesak di sana, ya dimana lagi kalau bukan di hati. Entah kenapa, aku seakan menunggu suasana yang tepat hingga saraf-saraf ajaib ku memerintahkan otak ku, untuk melewati hal ini. Hal yang sebetulnya sudah usang.
Hei, kamu. Iya kamu, yang di sana. Kamu tahu kan, ini begitu usang? Kenapa harus ada lagi?
Seingatku, hal ini sudah seharusnya tidak ada lagi kan? Toh, aku juga sudah memberitahu tentang apa yang ku rasain. Jadi apa lagi?
**
Aku masih, percaya dengan perasaan yang datang dengan tiba-tiba ini. Aku percaya, dia tidak tersesat, melainkan hanya aku yang tidak siap waktu itu.
***
Waktu berjalan semestinya, hingga salah satu mata pelajaran, mengharuskan kita berbagi sebangku berdua. Aku sudah paham aturan dimata pelajaran ini, jadi tidak ada alasan buatku untuk merasa aneh berada dalam posisi ini. Sebangku dengan perempuan.
Entah kapan, seiring dengan jam-jam pelajaran yang aku lalui, diam-diam, partikel partikel yang mengendap dalam filter otak ku, mulai menganggu konsentrasi. Dalam suatu kesempatan di suatu malam, dikala fase pubertas tak kunjung usai, aku mencoba memutar kembali, data-data apa saja yang sudah terekam disana dan mulai menganggu ku, saat ini.
Malam itu, segala hal terputar kembali, dan mulai kini, ku sebut dengan kenangan. Berbagai kenangan tersaji disana, dan aku tahu, beberapa mulai tampak menyita perhatian dan ingatan. Sebangku dengan mu, tentunya.
**
Ahh, aku lelah, ini ingatan enam tahun yang lalu, otak ku tak seprima dulu lagi, apalagi sekarang sudah terforsir dengan rutinitas. Setelah selama ini, dan setelah sejauh ini, hahahaha. Maap, aku tertawa mengingatnya sendiri. Oke, aku lanjutkan. Jujur, aku juga tidak tahu apa yang menahan rasa ini, hingga sampai sejauh ini, masih ada di sini, beberapa kali aku mencoba, untuk apa yang mereka sebut dengan move on, tapi hal itu malah semakin membuatku sesak. Dan kupikir, itu sia-sia, dan ku putuskan, untuk menjalaninya dengan apa adanya. Termasuk, bersama dengan perasaan ini.
Ku sandarkan punggung ku ke tembok tua bercat hijau muda agak cerah, tapi bukan hijau muda, semacam hijaulah, mengandung unsur hijau, ah! Apalah, aku tak tau persis soal warnanya, hei!! Kenapa jadi meributkan warna tembok tua ini. Bodoh.
Akhir-akhir ini serba nanggung, menjalaninya. Sesuatu terasa sesak di sana, ya dimana lagi kalau bukan di hati. Entah kenapa, aku seakan menunggu suasana yang tepat hingga saraf-saraf ajaib ku memerintahkan otak ku, untuk melewati hal ini. Hal yang sebetulnya sudah usang.
Hei, kamu. Iya kamu, yang di sana. Kamu tahu kan, ini begitu usang? Kenapa harus ada lagi?
Seingatku, hal ini sudah seharusnya tidak ada lagi kan? Toh, aku juga sudah memberitahu tentang apa yang ku rasain. Jadi apa lagi?
**
Aku masih, percaya dengan perasaan yang datang dengan tiba-tiba ini. Aku percaya, dia tidak tersesat, melainkan hanya aku yang tidak siap waktu itu.
***
Waktu berjalan semestinya, hingga salah satu mata pelajaran, mengharuskan kita berbagi sebangku berdua. Aku sudah paham aturan dimata pelajaran ini, jadi tidak ada alasan buatku untuk merasa aneh berada dalam posisi ini. Sebangku dengan perempuan.
Entah kapan, seiring dengan jam-jam pelajaran yang aku lalui, diam-diam, partikel partikel yang mengendap dalam filter otak ku, mulai menganggu konsentrasi. Dalam suatu kesempatan di suatu malam, dikala fase pubertas tak kunjung usai, aku mencoba memutar kembali, data-data apa saja yang sudah terekam disana dan mulai menganggu ku, saat ini.
Malam itu, segala hal terputar kembali, dan mulai kini, ku sebut dengan kenangan. Berbagai kenangan tersaji disana, dan aku tahu, beberapa mulai tampak menyita perhatian dan ingatan. Sebangku dengan mu, tentunya.
**
Ahh, aku lelah, ini ingatan enam tahun yang lalu, otak ku tak seprima dulu lagi, apalagi sekarang sudah terforsir dengan rutinitas. Setelah selama ini, dan setelah sejauh ini, hahahaha. Maap, aku tertawa mengingatnya sendiri. Oke, aku lanjutkan. Jujur, aku juga tidak tahu apa yang menahan rasa ini, hingga sampai sejauh ini, masih ada di sini, beberapa kali aku mencoba, untuk apa yang mereka sebut dengan move on, tapi hal itu malah semakin membuatku sesak. Dan kupikir, itu sia-sia, dan ku putuskan, untuk menjalaninya dengan apa adanya. Termasuk, bersama dengan perasaan ini.
***
Pagi ini, ingin sekali ku berbagi kopi dengan mu, kopi hitam yang ku seduh hampir setiap pagi. Seperti biasa, hari ini aku sedang bekerja, memandangi layar berwarna diikuti hamparan huruf-huruf alfabet yang disusun acak, yang kian hari membuat ku cepat bosan, walau ini masih pagi.
Ku teguk kembali kopi hitam ku, yang ingin ku bagi dengan mu, di ruangan yang terang, yang penghuninya lalu lalang, meributkan hal yang hari ini aku tidak ingin dengar. Kerjaan. Hampir setiap hari, aku menghabiskan waktu, untuk duduk berjam-jam memandangi layar berwarna ini, mendengarkan basa-basi penghuni ruangan terang ini, tawa riuh rendah mereka yang tidak sedikit pun, membuatku jadi lebih baik. Aku bosan.
Sesekali, ku berjalan keluar dari ruangan yang terang ini, sekedar untuk menganti suasana, tapi itu tak berlangsung lama. Aku harus kembali, karena ini, belum jam istirahat. Tapi setidaknya, aku telah mereduksi beberapa menit kebosanan yang sedang terjadi. Walau sebenarnya itu tidak terlalu berarti.
Kopi hitam yang ingin ku bagi dengan mu, semakin dingin. Siapa lagi kalo bukan ulah, dari pendingin ruangan terang ini, yang melakukannya. Dingin yang membuat pahitnya semakin terasa, dan membuatku teringat, bahwa kamu tidak suka kopi. Seteguk kemudian, dan aku tidak menyadari ini adalah tegukan terakhir ku, untuk kopi hitam yang ingin ku bagi dengan mu. Setelah ini baru aku sadar, bahwa kamu tidak ada di samping ku, bahkan untuk menghirup aroma kopi yang aku seduh hampir setiap pagi.